Yohana Susana Yembise |
Plat Merah | JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, salah bicara dalam Sesi 59Commission on the Status of Women (CSW 59) di Markas Besar PBB New York baru-baru ini, membuat Indonesia menjadi kelompok yang menolak feminisme dan cenderung tidak mengakui hak asasi perempuan.
Hal itu dilaporkan aktivis Sekretariat Nasional Jokokowi (Seknas Jokowi) Perempuan, Sulistyani, dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan Relawan di Istana Negara Selasa (17/3). "Salah bicara atau tidak memahami," ujar Sulistyani.
Setelah bertemu dengan Presiden, Sulis menjelaskan, Yohana Yembise membuat Indonesia tercoreng dalam kancah internasional perjuangan perempuan. Padahal tahun 1995 saja, Indonesia merupakan negara pelopor feminisme.
"Akibat pernyataan Yohana yang salah, kita menjadi satu kelompok dengan Rusia, Iran, Irak yang menolak feminisme. Sayangnya ketika Yohana menyadari bahwa dia salah, dan minta diganti saja. Namun, sudah terlambat, karena naskah resmi sudah dibuat," ungkap Sulistyani.
Para aktivis perempuan kecewa atas pernyataan Yohana. Untuk menjelaskan duduk soal, Gerakan Perempuan Peduli Indonesia untuk BPFA, membuat tulisan khusus untuk memberi pencerahan kepada Yohana, di alamat
"Laporan ini ditujukan untuk memberikan update kepada Menteri Yohana terkait dengan perkembangan global tentang upaya dunia dalam menegakkan HAM Perempuan, membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan," demikian pengantar tulisan tersebut.
Ketika para aktivis perempuan yang ikut dalam CSW-59 mempertanyakan hal tersebut, Yohana berdalih, dia menyangka bahwa bahan-bahan yang disiapkan untuk dia sampaikan dalam pidato resmi, sudah terseleksi dengan baik dan sesuai posisi Indonesia selama ini.
"Teman-teman heran, soal bahan yang disiapkan staf, itu kan urusan internal dia, bukan menjadi wilayah publik. Pokoknya sangat disayangkan, ketika dia sadar dia salah, sudah terlambat karena dokumen resmi telah dibuat," jelas Sulistyani.
Posisi Indonesia sebetulnya lebih dekat dengan Malaysia, mengakui hak asasi perempuan dan feminisme dalam bingkai agama. "Staf Menteri bahkan mengatakan, justru perjuangan feminisme yang mendorong banyak kemajuan dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia."
Menurut Sulistyani, di kalangan aktivis perempuan, Menteri Yohana tergolong aneh. Hingga sekarang pun dia tidak memahami makna keadilan gender, sehingga sering salah bicara dan salah makna. Lebih heran lagi, para stafnya tidak mengingatkan hal ini.
"Bahkan ketika Menteri Yohana mengundang para aktivis ke kantornya, dalam pembicaraan, dia selalu menggunakan kata 'wanita' dan bukan 'perempuan.' Karena banyak yang tertawa cekikikan, akhirnya ada peserta yang memberi tahu supaya Ibu Menteri jangan menggunakan kata 'wanita.' (dd)
No comments:
Post a Comment