SIFAT pandai bergaul, itu bagus sekali. Tapi jangan pula macam
Bunari, 35, dari Lumajang (Jatim) ini. Terlalu pandai bergaul kok
ujung-ujungnya menggauli bini orang. Tentu saja suami marah besar.
Sehingga ketika Bunari dan gendakannya sedang berkencan ria, langsung
dibabat clurit hingga wasalam.
Ungkapan lama mengatakan, musuh satu itu terlalu banyak, sedangkan teman seribu masihlah kurang. Ungkapan tersebut tak hanya penting bagi orang-orang yang sedang hajatan, tapi juga peradaban manusia pada umumnya. Tapi orang bisa banyak teman itu tidak mudah, karena dia harus pandai bergaul dengan lingkungannya, tanpa memandang suku, agama dan pendukung Capres manapun. Orang pandai bergaul, masyarakat Jawa menyebutnya: bisa manjing ajur ajer.
Bunari warga Desa Kunir Lor Kecamatan Kunir Kabupaten Lumajang, oleh para tetangga di lingkungannya juga dikenal sebagai sosok yang pandai bergaul. Dia rajin silaturahmi. Sebab ajaran agama juga menggariskan, silaturahmi itu memperpanjang rejeki dan usia. Kenapa juga memperpanjang umur? Setidaknya, ketika tanggal tua, karena banyak teman masih bisa cari ………utangan!
Tapi aneh bagi Bunari, meski pandai bergaul dia susah mencari jodoh. Buktinya, hingga usia tujuh pelita belum juga berkeluarga. Dia terus enjoy dengan kesendiriannya. Pacaran sih sering, tapi tak ada yang sampai masuk final dan dicatat penghulu KUA. Tapi meski putus, Bunari tenang-tenang saja, dan berganti dengan cewek lain.
Ternyata, Bunari memang penganut filosofi “selagi ada sate buat apa beli kambing”. Artinya, bagi dia seorang istri tak lebih seekor kambing yang harus disiapkan kandang dan tiap hari memberikan rumput. Padahal jika butuhnya sekedar sate, tanpa punya kambing pun sudah bisa makan sate berpuluh-puluh tusuk sampai stroke. Karena itulah, meski tak menikah dia hepi-hepi saja, lantaran kebutuhuan biologisnya tetap tersalur. Justru, karena memilih beli sate daripada memelihara kambing membuat fatal nasib Bunari... is death !
Belakangan, dia suka membawa perempuan muda ke rumah, padahal dia bukan famili bukan pula kerabat. Pak RT pun suka tak enak dibuatnya, takut terjadi hil-hil yang mustahal. Tapi ketika ditegur, Bunari bisa menjawabnya dengan santun, sehingga Pak RT pun jadi kikuk dibuatnya. Jangan-jangan dia memang terkesima nasihat Capres bahwa bohong itu boleh, asal santun. “Jadi saya selingkuh pun, asal santun ora papa…..!” begitu katanya.
Beberapa malam lalu, Bunari kembali ke rumah membawa perempuan muda. Tapi rupanya Lastri, 30, yang dibawanya bukanlah wanita bebas merdeka, melainkan sudah terikat perkawinan dengan seseorang. Entah bagaimana kiat-kiat politiknya, sehingga wanita itu bisa manut miturut. Yang jelas, keduanya malam itu terlena dalam asyik masyuk yang penuh birahi.
Tapi sial rupanya, belum juga puas mereguk dahaga asmara, tahu-tahu ada mobil datang. Mereka menggedor pintu rumah Bunari. Tuan rumah yang sedang tenggelam dalam samodra asmara, berusaha kabur dengan telanjang bulat. Tapi terus saja dikejar dan disabet clurit. Dia sempat minta tolong warga, sayang tak ada yang berani mendekat. Sedangkan sang gendakan, setelah Bunari ambruk dia diseret masuk ke mobil dan dibawa pergi. Penduduk Desa Kunir Lor sibuk mengurus jenazah Bunari, tanpa sempat mencatat nomer mobilnya.
Sayang, Bunari jadi saksi mati.
(*Sumber)
Ungkapan lama mengatakan, musuh satu itu terlalu banyak, sedangkan teman seribu masihlah kurang. Ungkapan tersebut tak hanya penting bagi orang-orang yang sedang hajatan, tapi juga peradaban manusia pada umumnya. Tapi orang bisa banyak teman itu tidak mudah, karena dia harus pandai bergaul dengan lingkungannya, tanpa memandang suku, agama dan pendukung Capres manapun. Orang pandai bergaul, masyarakat Jawa menyebutnya: bisa manjing ajur ajer.
Bunari warga Desa Kunir Lor Kecamatan Kunir Kabupaten Lumajang, oleh para tetangga di lingkungannya juga dikenal sebagai sosok yang pandai bergaul. Dia rajin silaturahmi. Sebab ajaran agama juga menggariskan, silaturahmi itu memperpanjang rejeki dan usia. Kenapa juga memperpanjang umur? Setidaknya, ketika tanggal tua, karena banyak teman masih bisa cari ………utangan!
Tapi aneh bagi Bunari, meski pandai bergaul dia susah mencari jodoh. Buktinya, hingga usia tujuh pelita belum juga berkeluarga. Dia terus enjoy dengan kesendiriannya. Pacaran sih sering, tapi tak ada yang sampai masuk final dan dicatat penghulu KUA. Tapi meski putus, Bunari tenang-tenang saja, dan berganti dengan cewek lain.
Ternyata, Bunari memang penganut filosofi “selagi ada sate buat apa beli kambing”. Artinya, bagi dia seorang istri tak lebih seekor kambing yang harus disiapkan kandang dan tiap hari memberikan rumput. Padahal jika butuhnya sekedar sate, tanpa punya kambing pun sudah bisa makan sate berpuluh-puluh tusuk sampai stroke. Karena itulah, meski tak menikah dia hepi-hepi saja, lantaran kebutuhuan biologisnya tetap tersalur. Justru, karena memilih beli sate daripada memelihara kambing membuat fatal nasib Bunari... is death !
Belakangan, dia suka membawa perempuan muda ke rumah, padahal dia bukan famili bukan pula kerabat. Pak RT pun suka tak enak dibuatnya, takut terjadi hil-hil yang mustahal. Tapi ketika ditegur, Bunari bisa menjawabnya dengan santun, sehingga Pak RT pun jadi kikuk dibuatnya. Jangan-jangan dia memang terkesima nasihat Capres bahwa bohong itu boleh, asal santun. “Jadi saya selingkuh pun, asal santun ora papa…..!” begitu katanya.
Beberapa malam lalu, Bunari kembali ke rumah membawa perempuan muda. Tapi rupanya Lastri, 30, yang dibawanya bukanlah wanita bebas merdeka, melainkan sudah terikat perkawinan dengan seseorang. Entah bagaimana kiat-kiat politiknya, sehingga wanita itu bisa manut miturut. Yang jelas, keduanya malam itu terlena dalam asyik masyuk yang penuh birahi.
Tapi sial rupanya, belum juga puas mereguk dahaga asmara, tahu-tahu ada mobil datang. Mereka menggedor pintu rumah Bunari. Tuan rumah yang sedang tenggelam dalam samodra asmara, berusaha kabur dengan telanjang bulat. Tapi terus saja dikejar dan disabet clurit. Dia sempat minta tolong warga, sayang tak ada yang berani mendekat. Sedangkan sang gendakan, setelah Bunari ambruk dia diseret masuk ke mobil dan dibawa pergi. Penduduk Desa Kunir Lor sibuk mengurus jenazah Bunari, tanpa sempat mencatat nomer mobilnya.
Sayang, Bunari jadi saksi mati.
(*Sumber)
No comments:
Post a Comment