Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) M Akil Mochtar dengan pidana penjara seumur hidup.
Majelis sependapat dengan pidana maksimal yang dimintakan penuntut umum
setelah mempertimbangkan fakta-fakta, alat bukti, serta hal-hal yang
memberatkan Akil di persidangan.
Ketua majelis hakim Suwidya mengungkapkan, sejumlah hal yang memberatkan Akil adalah status selaku ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir bagi masyarakat pencari keadilan, seharusnya memberi contoh teladan yang baik dalam hal integritas. Perbuatan Akil juga mengakibatkan runtuhnya wibawa lembaga MK.
Selain itu, akibat perbuatan Akil tersebut, diperlukan usaha yang sangat sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan terhadap lembaga MK. “Oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana dengan ancaman maksimal, maka hal-hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi,” kata Suwidya, Senin malam (30/6).
Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih yang diminta penuntut umum, Suwidya tidak sependapat. Ia beralasan, pencabutan hak memilih dan dipilih tidak relevan lagi diterapkan, mengingat pidana yang dijatuhkan majelis kepada Akil adalah pidana pejara seumur hidup.
Dalam putusannya, Suwidya menyatakan Akil terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Namun, tidak semua perbuatan Akil dalam dakwaan kesatu terbukti melanggar Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menurut Suwidya, perbuatan Akil yang berkaitan dengan Pilkada Lampung Selatan tidak terbukti melanggar Pasal 12 huruf c, melainkan lebih kepada penerimaan gratifikasi. Pasalnya, tidak seorang pun saksi yang menyatakan adanya permintaan kepada Susi Tur Andayani untuk mengurus sengketa Pilkada Lampung Selatan.
Kemudian, apabila melihat rentang waktu pengiriman uang dari Susi ke rekening Akil dan CV Ratu Samagat sejumlah Rp500 juta, pengiriman uang itu tidak ada hubungannya dengan Pilkada Lampung Selatan. Dengan demikian, pemberian itu tidak terbukti untuk mempengaruhi putusan sengketa Pilkada Lampung Selatan.
Sementara, terkait penerimaan hadiah atau janji dalam sengketa Pilkada Gunung Mas sebesar Rp3 miliar, Lebak Rp1 miliar, Empat Lawang Rp10 miliar dan AS$500 ribu Palembang Rp19,886 miliar, Morotai Rp1 miliar, Buton Rp2,989 miliar, Tapanuli Tengah Rp1,8 miliar, dan Jawa Timur Rp10 miliar, terbukti untuk mempengaruhi putusan.
Suwidya menjelaskan, meski uang untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas dan Lebak belum sampai ke tangan Akil, unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan tidak terlaksananya pemberian uang bukan karena kehendak Hambit Bintih, Susi, dan Akil, tapi karena mereka sudah keburu ditangkap KPK.
Sama halnya dengan janji pemberian uang Rp10 miliar dari Ketua DPD I Golkar Jawa Timur Zainudi Amali untuk memenangkan pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf dalam sengketa Pilkada Jawa Timur. Majelis berpendapat, pemberian uang itu tidak terlaksana bukan karena kehendak Akil, melainkan karena Akil sudah ditangkap KPK.
Selanjutnya, mengenai pemberian uang untuk pengurusan sengketa Pilkada Empat Lawang dan Palembang, meski saksi Muhtar Ependy mencabut keterangannya, majelis menilai pencabutan itu tidak dapat diterima. Pasalnya, saksi-saksi lain menerangkan adanya pemberian uang meski tidak pasti berapa jumlahnya.
Terkait pemberian uang sejumlah Rp7,5 miliar untuk pengurusan sengketa Pilkada Banten, hakim anggota Gosyen Butarbutar menjelaskan perbuatan itu telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Akil melalui CV Ratu Samagat terbukti menerima uang dari Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan untuk kepentingan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno.
Lalu, mengenai penerimaan hadiah atau janji dari Wakil Gubernur 2006-2011, Alex Hesegem, majelis menilai Akil telah terbukti menerima transfer uang sejumlah Rp125 juta. Berdasarkan fakta-fakta dan alat bukti di persidangan, perbuatan Akil dianggap lebih tepat dikenakan Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Untuk dakwaan kelima dan keenam yang terkait pencucian uang, hakim anggota Matheus Samiadji menyatakan telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Matheus menguraikan, Akil dalam rentang waktu antara 22 Oktober 2010-2 Oktober 2013 telah melakukan serangkaian perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, menitipkan, dan menukarkan dengan mata uang dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari korupsi.
Pertama, Akil menempatkan uang sejumlah Rp51,774 miliar di rekening CV Ratu Samagat dan Rp6,848 miliar di rekening miliknya. Kedua, Akil membayarkan untuk pembelian mobil Ford Fiesta dan Toyota Innova. Ketiga, Akil menukarkan uang dollar Amerika Serikat, Singapura, dan Euro yang nilai keseluruhannya sekitar Rp65,251 miliar.
Akil juga melakukan perbuatan lain yaitu memindahkan uang Rp2,7 miliar ke lemari di balik dinding kedap suara ruang karaoke di rumah dinasnya. Namun, untuk perbuatan Akil yang menitipkan Rp35 miliar kepada Muhtar, majelis tidak menemukan adanya hubungan kausalitas antara harta kekayaan Akil dengan uang yang dikelola Muhtar.
Dari uang tersebut, Muhtar hanya terbukti mentransferkan uang Rp3,866 miliar ke rekening CV Ratu Samagat. “Majelis hakim berpendapat secara yuridis hal itu menjadi tanggung jawab Muhtar Ependy secara pribadi. Terdakwa tidak dapat dimintakan tanggung jawab terhadap harta kekayaan yang tidak dikuasainya,” ujar Matheus.
Kemudian, terkait TPPU sepanjang 17 April 2002-21 Oktober 2010, majelis berpandangan, Akil terbukti menempatkan uang Rp13,456 miliar di rekeningnya dan membayarkan suntuk pembelian Toyota Fortuner dan rumah di Pancoran. Penambahan harta kekayaan Akil dianggap tidak wajar karena tidak menyimpan dari profil Akil.
Adapun bukti-bukti yang diberikan Akil untuk membuktikan harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana dinilai majelis tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan bukti-bukti tersebut tidak berkesesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa pemberian uang itu terkait fee sengketa Pilkada.
Dissenting opinion
Hakim anggota Sofialdi dan Alexander Marwata menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan tiga hakim lainnya. Sofialdi tidak sepakat soal penyertaan Susi dan Chairun Nisa. Menurutnya, dalam putusan perkara Susi sebelumnya, peran Susi tidak bersama-sama Akil selaku penerima, melainkan bersama-sama Wawan selaku pemberi.
Sementara, Chairun Nisa dalam putusannya tidak terbukti bersama-sama Akil menerima uang terkait sengketa Pilkada Gunung Mas. Chairun Nisa dihukum dengan tindak pidana tersendiri karena terbukti menerima uang Rp75 juta sebagai ucapan terima kasih dari Hambit Bintih saat membantu pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas.
Kemudian, terkait dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Sofialdi berpendapat penuntut umum KPK tidak memiliki kewenangan untuk menuntut perkara TPPU. Sedari awal, Sofialdi menyatakan dakwaan TPPU tidak dapat diterima, sehingga dakwaan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Begitu pula dengan dakwaan TPPU yang menggunakan UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003. Sofialdi menganggap KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sehingga dengan sendirinya tuntutan yang berkaitan dengan TPPU dinyatakan batal demi hukum.
Berbeda dengan Sofialdi, Alexander berbeda pendapat soal penerapan UU TPPU yang tidak membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu. Ia berpendapat, walau UU TPPU menentukan tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu, bukan berarti tidak perlu dibuktikan. Penuntut umum tetap harus membuktikan tindak pidana asal.
Menurut Alexander, tindak pidana asal tidak perlu dibuktikan hanya berlaku untuk pelaku pasif, bukan pelaku aktif. Dalam hal ini, Akil sudah mencoba membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Mengingat peristiwa sudah terjadi cukup lama, tidak tertutup kemungkinan Akil lupa asal usul harta kekayaannya.
Walau Alexander tidak meyakini keseluruhan pembuktian Akil, perampasan harta kekayaan tidak dapat dilakukan hanya karena pembuktian Akil dinilai tidak logis atau harta kekayaan Akil menyimpang dari profil. Alasan seperti itu dipandang Alexander tidak sesuai UUD 1945, sehingga akan menimbulkan ketidakadilan.
Mengingat ada dua hakim yang menyatakan berbeda pendapat, putusan majelis diambil dengan suara terbanyak. Dengan demikian, Suwidya mengatakan, majelis berkesimpulan sebagian besar dakwaan penuntut umum telah terpenuhi. Namun, dari semua barang bukti yang disita, ada sejumlah barang bukti yang harus dikembalikan.
Banding
Tidak terima divonis seumur hidup, Akil langsung mengajukan banding. Usai sidang, Akil menyatakan majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Seperti, keterangan Daryono mengenai inisiatif pemindahan uang Rp2,7 miliar ke lemari di balik dinding kedap suara di ruang karaoke.
Akil mengaku saat uang dipindahkan, ia sudah berada dalam tahanan. Kemudian, majelis juga tidak mempertimbangkan keterangan Alex Hesegem yang mengatakan Akil tidak pernah meminta uang. Untuk itu, Akil menegaskan tidak menyesal. “Sampai ke Tuhan pun saya akan banding. Sampai ke surga pun saya akan banding,” tuturnya.
Sementara, penuntut umum Pulung Rinandoro masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Menurut Pulung, meski putusan sudah sesuai tuntutan, ada beberapa pertimbangan majelis yang tidak sesuai dengan tuntutan. Pertama, mengenai tidak terbuktinya dakwaan kesatu terkait pemberian uang dalam sengketa Pilkada Lampung Selatan.
Kedua, mengenai penitipan uang sejumlah Rp35 miliar kepada Muhtar Ependy. Ketiga, mengenai adanya barang bukti yang dikembalikan. Keempat, mengenai hak memilih dan dipilih. Pulung menjelaskan, dengan tidak dikabulkannya pencabutan hak memilih dan dipilih, Akil masih bisa menggunakan haknya untuk memilih.
“Jadi, ada sesuatu pertimbangan majelis yang bertentangan. Hal-hal yang berbeda dengan kami, kami pasti akan banding, karena kita akan mempertahankan tuntutan kami. Semaksimal mungkin, kami akan berupaya tuntutan kita dikabulkan. Kalau beliau (Akil) sampai ke surga, kalau saya nggak sampai situ,” tandasnya. (* Hukum online)
Ketua majelis hakim Suwidya mengungkapkan, sejumlah hal yang memberatkan Akil adalah status selaku ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir bagi masyarakat pencari keadilan, seharusnya memberi contoh teladan yang baik dalam hal integritas. Perbuatan Akil juga mengakibatkan runtuhnya wibawa lembaga MK.
Selain itu, akibat perbuatan Akil tersebut, diperlukan usaha yang sangat sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan terhadap lembaga MK. “Oleh karena itu terdakwa dijatuhi pidana dengan ancaman maksimal, maka hal-hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi,” kata Suwidya, Senin malam (30/6).
Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih yang diminta penuntut umum, Suwidya tidak sependapat. Ia beralasan, pencabutan hak memilih dan dipilih tidak relevan lagi diterapkan, mengingat pidana yang dijatuhkan majelis kepada Akil adalah pidana pejara seumur hidup.
Dalam putusannya, Suwidya menyatakan Akil terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Namun, tidak semua perbuatan Akil dalam dakwaan kesatu terbukti melanggar Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menurut Suwidya, perbuatan Akil yang berkaitan dengan Pilkada Lampung Selatan tidak terbukti melanggar Pasal 12 huruf c, melainkan lebih kepada penerimaan gratifikasi. Pasalnya, tidak seorang pun saksi yang menyatakan adanya permintaan kepada Susi Tur Andayani untuk mengurus sengketa Pilkada Lampung Selatan.
Kemudian, apabila melihat rentang waktu pengiriman uang dari Susi ke rekening Akil dan CV Ratu Samagat sejumlah Rp500 juta, pengiriman uang itu tidak ada hubungannya dengan Pilkada Lampung Selatan. Dengan demikian, pemberian itu tidak terbukti untuk mempengaruhi putusan sengketa Pilkada Lampung Selatan.
Sementara, terkait penerimaan hadiah atau janji dalam sengketa Pilkada Gunung Mas sebesar Rp3 miliar, Lebak Rp1 miliar, Empat Lawang Rp10 miliar dan AS$500 ribu Palembang Rp19,886 miliar, Morotai Rp1 miliar, Buton Rp2,989 miliar, Tapanuli Tengah Rp1,8 miliar, dan Jawa Timur Rp10 miliar, terbukti untuk mempengaruhi putusan.
Suwidya menjelaskan, meski uang untuk pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas dan Lebak belum sampai ke tangan Akil, unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan tidak terlaksananya pemberian uang bukan karena kehendak Hambit Bintih, Susi, dan Akil, tapi karena mereka sudah keburu ditangkap KPK.
Sama halnya dengan janji pemberian uang Rp10 miliar dari Ketua DPD I Golkar Jawa Timur Zainudi Amali untuk memenangkan pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf dalam sengketa Pilkada Jawa Timur. Majelis berpendapat, pemberian uang itu tidak terlaksana bukan karena kehendak Akil, melainkan karena Akil sudah ditangkap KPK.
Selanjutnya, mengenai pemberian uang untuk pengurusan sengketa Pilkada Empat Lawang dan Palembang, meski saksi Muhtar Ependy mencabut keterangannya, majelis menilai pencabutan itu tidak dapat diterima. Pasalnya, saksi-saksi lain menerangkan adanya pemberian uang meski tidak pasti berapa jumlahnya.
Terkait pemberian uang sejumlah Rp7,5 miliar untuk pengurusan sengketa Pilkada Banten, hakim anggota Gosyen Butarbutar menjelaskan perbuatan itu telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Akil melalui CV Ratu Samagat terbukti menerima uang dari Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan untuk kepentingan Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno.
Lalu, mengenai penerimaan hadiah atau janji dari Wakil Gubernur 2006-2011, Alex Hesegem, majelis menilai Akil telah terbukti menerima transfer uang sejumlah Rp125 juta. Berdasarkan fakta-fakta dan alat bukti di persidangan, perbuatan Akil dianggap lebih tepat dikenakan Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Untuk dakwaan kelima dan keenam yang terkait pencucian uang, hakim anggota Matheus Samiadji menyatakan telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Matheus menguraikan, Akil dalam rentang waktu antara 22 Oktober 2010-2 Oktober 2013 telah melakukan serangkaian perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, menitipkan, dan menukarkan dengan mata uang dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari korupsi.
Pertama, Akil menempatkan uang sejumlah Rp51,774 miliar di rekening CV Ratu Samagat dan Rp6,848 miliar di rekening miliknya. Kedua, Akil membayarkan untuk pembelian mobil Ford Fiesta dan Toyota Innova. Ketiga, Akil menukarkan uang dollar Amerika Serikat, Singapura, dan Euro yang nilai keseluruhannya sekitar Rp65,251 miliar.
Akil juga melakukan perbuatan lain yaitu memindahkan uang Rp2,7 miliar ke lemari di balik dinding kedap suara ruang karaoke di rumah dinasnya. Namun, untuk perbuatan Akil yang menitipkan Rp35 miliar kepada Muhtar, majelis tidak menemukan adanya hubungan kausalitas antara harta kekayaan Akil dengan uang yang dikelola Muhtar.
Dari uang tersebut, Muhtar hanya terbukti mentransferkan uang Rp3,866 miliar ke rekening CV Ratu Samagat. “Majelis hakim berpendapat secara yuridis hal itu menjadi tanggung jawab Muhtar Ependy secara pribadi. Terdakwa tidak dapat dimintakan tanggung jawab terhadap harta kekayaan yang tidak dikuasainya,” ujar Matheus.
Kemudian, terkait TPPU sepanjang 17 April 2002-21 Oktober 2010, majelis berpandangan, Akil terbukti menempatkan uang Rp13,456 miliar di rekeningnya dan membayarkan suntuk pembelian Toyota Fortuner dan rumah di Pancoran. Penambahan harta kekayaan Akil dianggap tidak wajar karena tidak menyimpan dari profil Akil.
Adapun bukti-bukti yang diberikan Akil untuk membuktikan harta kekayaannya tidak berasal dari tindak pidana dinilai majelis tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan bukti-bukti tersebut tidak berkesesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain yang menyatakan bahwa pemberian uang itu terkait fee sengketa Pilkada.
Dissenting opinion
Hakim anggota Sofialdi dan Alexander Marwata menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan tiga hakim lainnya. Sofialdi tidak sepakat soal penyertaan Susi dan Chairun Nisa. Menurutnya, dalam putusan perkara Susi sebelumnya, peran Susi tidak bersama-sama Akil selaku penerima, melainkan bersama-sama Wawan selaku pemberi.
Sementara, Chairun Nisa dalam putusannya tidak terbukti bersama-sama Akil menerima uang terkait sengketa Pilkada Gunung Mas. Chairun Nisa dihukum dengan tindak pidana tersendiri karena terbukti menerima uang Rp75 juta sebagai ucapan terima kasih dari Hambit Bintih saat membantu pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas.
Kemudian, terkait dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Sofialdi berpendapat penuntut umum KPK tidak memiliki kewenangan untuk menuntut perkara TPPU. Sedari awal, Sofialdi menyatakan dakwaan TPPU tidak dapat diterima, sehingga dakwaan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan.
Begitu pula dengan dakwaan TPPU yang menggunakan UU No.15 Tahun 2002 jo UU No.25 Tahun 2003. Sofialdi menganggap KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sehingga dengan sendirinya tuntutan yang berkaitan dengan TPPU dinyatakan batal demi hukum.
Berbeda dengan Sofialdi, Alexander berbeda pendapat soal penerapan UU TPPU yang tidak membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu. Ia berpendapat, walau UU TPPU menentukan tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu, bukan berarti tidak perlu dibuktikan. Penuntut umum tetap harus membuktikan tindak pidana asal.
Menurut Alexander, tindak pidana asal tidak perlu dibuktikan hanya berlaku untuk pelaku pasif, bukan pelaku aktif. Dalam hal ini, Akil sudah mencoba membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Mengingat peristiwa sudah terjadi cukup lama, tidak tertutup kemungkinan Akil lupa asal usul harta kekayaannya.
Walau Alexander tidak meyakini keseluruhan pembuktian Akil, perampasan harta kekayaan tidak dapat dilakukan hanya karena pembuktian Akil dinilai tidak logis atau harta kekayaan Akil menyimpang dari profil. Alasan seperti itu dipandang Alexander tidak sesuai UUD 1945, sehingga akan menimbulkan ketidakadilan.
Mengingat ada dua hakim yang menyatakan berbeda pendapat, putusan majelis diambil dengan suara terbanyak. Dengan demikian, Suwidya mengatakan, majelis berkesimpulan sebagian besar dakwaan penuntut umum telah terpenuhi. Namun, dari semua barang bukti yang disita, ada sejumlah barang bukti yang harus dikembalikan.
Banding
Tidak terima divonis seumur hidup, Akil langsung mengajukan banding. Usai sidang, Akil menyatakan majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Seperti, keterangan Daryono mengenai inisiatif pemindahan uang Rp2,7 miliar ke lemari di balik dinding kedap suara di ruang karaoke.
Akil mengaku saat uang dipindahkan, ia sudah berada dalam tahanan. Kemudian, majelis juga tidak mempertimbangkan keterangan Alex Hesegem yang mengatakan Akil tidak pernah meminta uang. Untuk itu, Akil menegaskan tidak menyesal. “Sampai ke Tuhan pun saya akan banding. Sampai ke surga pun saya akan banding,” tuturnya.
Sementara, penuntut umum Pulung Rinandoro masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Menurut Pulung, meski putusan sudah sesuai tuntutan, ada beberapa pertimbangan majelis yang tidak sesuai dengan tuntutan. Pertama, mengenai tidak terbuktinya dakwaan kesatu terkait pemberian uang dalam sengketa Pilkada Lampung Selatan.
Kedua, mengenai penitipan uang sejumlah Rp35 miliar kepada Muhtar Ependy. Ketiga, mengenai adanya barang bukti yang dikembalikan. Keempat, mengenai hak memilih dan dipilih. Pulung menjelaskan, dengan tidak dikabulkannya pencabutan hak memilih dan dipilih, Akil masih bisa menggunakan haknya untuk memilih.
“Jadi, ada sesuatu pertimbangan majelis yang bertentangan. Hal-hal yang berbeda dengan kami, kami pasti akan banding, karena kita akan mempertahankan tuntutan kami. Semaksimal mungkin, kami akan berupaya tuntutan kita dikabulkan. Kalau beliau (Akil) sampai ke surga, kalau saya nggak sampai situ,” tandasnya. (* Hukum online)
No comments:
Post a Comment